Palu Hakim untuk Siapa

Palu Hakim untuk Siapa



AKHIR–akhir ini peradilan Indonesia mendapat perhatian luas. Ada ketimpangan keputusan di pengadilan, ada ketidakadilan menghukum terdakwa.

Meja hijau lebih mempertimbangkan jabatan, status sosial, dan kekuatan finansial dalam menentukan salah atau tidaknya seseorang. Pengadilan memang tempat membuktikan apakah seseorang bertindak melanggar hukum atau tidak. Namun, bukan berarti semua terdakwa pasti bersalah. Nenek Minah mengambil tiga buah kakao seharga Rp2.000 malah diproses hukum dari penyelidikan, penyidikan, pelimpahan berkas, dan sidang. Padahal, untuk ongkos pergi ke pengadilan saja, nenek Minah dibantu orang lain. Lihat kasus kriminalisasi KPK, tidak satu orang pun tersentuh hukum. Hukum mandek dan berlaku spesial bagi orang berduit.



Keseriusan aparat pun dipertanyakan dalam memproses hukum orang-orang yang terlibat. Dewi Keadilan dengan dua timbangan seimbang melambangkan bahwa hukum dibuat untuk menciptakan keteraturan dalam lingkungan sosial. Aturan mencakup semua aspek kehidupan berdasarkan norma, etika, adat istiadat, dan pandangan logis. Kenyataan di lapangan aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim, dan pengacara sering main mata. Keberadaan pengadilan hanya formalitas untuk legalitas vonis yang sudah tidak murni lagi. Jatuhnya vonis pengadilan bisa diatur sesuai imbalan yang diberikan.

Jangan heran bila banyak terdakwa yang terlibat kasus kelas kakap mendapat vonis ringan bahkan bebas. Hukum berlaku tegas, keras, dan memaksa kepada masyarakat lemah yang buta hukum. Jauh dari itu aparat sering menindas masyarakat dengan memanfaatkan faktor kebutaan pengetahuan tentang hukum. Berbanding 180 derajat hukum melempem menghadapi orang dengan kekuatan kekuasaan dan finansial besar. Ketokan palu hakim terdengar manis bagi pembeli keputusan. Dan terdengar pahit bagi pencari kebenaran hakiki. Karena itu, masyarakat sangat fobia berhubungan dengan hukum.

Mereka menganggap mengurus suatu perkara sama dengan buang-buang uang, tenaga,waktu, dan membuka pintu penjara sendiri. Palu meja hijau selalu bermata hijau kepada limpahan uang sehingga uang adalah raja dan keadilan adalah keberpihakan kepada uang. Kongkalikong antara polisi, jaksa, hakim, dan pengacara dalam bersandiwara di pengadilan sudah berlangsung lama. Mereka hidup di sana. Mereka membawa nama besar institusi penegak hukum, dan mereka pula yang mencoreng-coreng muka sistem peradilan.

Image kotor ini karena aparat tunduk pada kekuasaan dan materi belaka. Sedangkan keadilan untuk wong cilik diabaikan. Keadilan telah bermetamorfosa menjadi barang langka yang berharga mahal. Semua perkara dibenarkan atau disalahkan dengan melawan common sense. Pengadilan bahkan lebih banyak mengorbankan kebaikan dan fakta kebenaran. Meringankan timbangan kesalahan dan menghilangkan fakta kebenaran merupakan perilaku tercela yang merendahkan martabat pengadilan.

Masyarakat Indonesia menantikan langkah konkret rehabilitasi kekotoran institusi penegakan hukum. Pertama, pengadilan sebagai institusi netral harus menegakkan independensi. Kedua, pengadilan menggunakan dua mata keadilan dalam menilai kebenaran dan kebohongan. Ketiga, institusi ini harus menimbang tinggi kejujuran fakta sehingga keadilan bisa diperoleh siapa pun. Terakhir, ketok palu hakim harus memenangkan kebenaran dan menghukum tegas kebatilan.(*)

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. E-RECHTER - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger